Gea #4 : Rasa dan Validasi
Mengapa, rasa membuat
seseorang dianggap 'lemah' ketika bersamanya?
Mengapa, rasa sering ditutup
dan dibungkam?
Mengapa, rasa sering dianggap tidak nyata?
Aku merupakan seseorang yang bisa dibilang
mampu menerima rangsangan 'rasa' lebih dari orang pada umumnya. Sejak aku baru
mengenal 'baca' dan 'tulis', apapun rasa yang aku terima dari dalam diri, akan
terpancar keluar dengan intensitas berkali-kali lebih, teramplifikasi. Ketika
aku senang, aku akan merasa seakan aku sedang terbang dan bunga di seluruh
dunia sedang mekar menyapa kegembiraanku. Ketika aku sedih, aku akan merasa
seakan aku memiliki awan yang telah
menyerap air dari samudera pasifik, lalu menurunkan semuanya sebagai hujan tepat diatas kepala
(tentu, ada guntur dan petir karena se-dramatis itu). Ketika aku marah, aku akan merasa seakan
kepalaku adalah bom waktu yang 5 detik lagi akan meledak dan akan melukai
siapapun yang ada disekitarku. Kerap kali lonjakan rasa itu terjadi dalam
keseharianku, tidak mengenal waktu, apalagi tempat.
Seringkali aku bertanya, pada diriku,
alam, langit, Tuhan, dan siapapun yang mendengar suara pikiranku,
"Sebenarnya, ini berkah atau kutukan?". Akan ada beberapa waktu ketika aku
menjawab,"yah, mungkin ini bisa dibilang berkah" dan ada waktu lain
dimana aku akan berpikir," Haha, enggak, pasti ini kutukan, karena dulu
aku merupakan anak yang tidak baik dan banyak berbuat salah pada orang-orang". Bahkan, sampai saat ini aku masih tidak
tau jawaban sebenarnya, tapi jauh di dalam kesadaranku, aku tau betul bahwa
keduanya bisa menjadi suatu kebenaran, apakah berkah atau kutukan? jawabannya,
dari diriku sendiri, bagaimana aku memandangnya? Karena, ketika aku menganggap
hal itu sebagai kutukan, maka jadilah kutukan. Hal tersebut merupakan salah
satu contoh bentuk manifestasi. Terkadang ada beberapa orang yang menganggap
manifestasi itu tidak nyata atau hal yang sepele, berbeda dengan mereka, aku
termasuk salah satu orang yang sangat mempercayainya, karena sudah banyak
sekali pengalaman ‘berhasil’ aku yang selalu berawal dari manifestasi. Tapi, untuk
saat ini aku sedang berusaha untuk menganggap itu sebagai suatu berkah, karena
aku juga tau betul, bahwa banyak hal yang dapat aku lakukan dengan
'berkah/kutukan' ini.
Kemudian, sebagai
orang yang merasakan lebih, seringkali muncul pertanyaan, terutama ketika aku
sedang having an episode, "tapi, kenapa ya, rasa itu ga pernah
bisa jadi sesuatu yang valid? yah, dari yang aku lihat dan alami sih. Maksud
dari ga valid adalah, 'rasa' yang aku rasakan seakan-akan merupakan
sebuah white noise yang jika aku lempar jalan akan hilang
dengan udara, dianggap dan dilihat oleh dengan diriku dan hanya
aku".
Rasa adalah sesuatu yang dimiliki oleh
tiap orang, hal yang memang pada dasarnya sudah ada di dalam kita semua, karena
kita adalah manusia. Tetapi, mungkin ada beberapa orang yang lebih bisa untuk
mengendalikan rasanya, ada beberapa
yang terkadang bisa, ada beberapa yang bahkan tidak bisa sama sekali, atau memang beberapa yang lain
hanya tidak merasakan ‘rasa’ sesering itu, sehingga bukan merupakan hal yang
harus dipikirkan. Memang,
rasa akan menjauhkan seseorang dari objektivitas dan berbalik pada subjektivitas yang seringkali
dipandang tidak baik. Rasa dapat menghalangi seseorang dalam membentuk
keputusan yang tepat, benar, dan baik untuk semua pihak. Rasa dapat mengganggu
seseorang bekerja, beraktivitas, dan dalam kadar tertentu dapat menjauhkan
seseorang dari tujuannya. Tetapi, hal-hal tersebut bukan berarti rasa itu harus
ditahan, dipendam, dibungkam. Manusia memiliki hak dan kewajiban, oleh karena
itu rasa yang memang sudah menjadi bagian manusia juga memiliki hak dan
kewajiban, kewajibannya adalah sebagai penghubung antar manusia dan manusia
dengan dirinya sendiri, tapi dalam tulisan ini yang menjadi lensa utama adalah hak, dan hak yang dimaksud adalah 'untuk bebas'.
Bagiku, rasa merupakan sesuatu yang sangat
abstrak, tidak bisa dipegang dan disentuh apalagi dilihat, tetapi bisa
diinterpretasi, melalui berbagai hal sebagai perantaranya, yaitu manusia salah
satunya. Ketika seseorang marah atau sedih, rasa tersebut ada, hadir, bisa
dilihat? tidak. Apa yang terlihat merupakan proyeksi dari rasa. Terus, rasa itu
ada dimana? Rasa itu ada di dalam manusia, tidak berwujud dan hanya bisa
dirasakan oleh manusia itu sendiri, memang ada orang-orang yang akan bisa ikut merasakan rasa tersebut, but
will it be on the same extent? I have my doubts. Rasa adalah sesuatu yang
menggerakkan manusia, maka rasa akan ada di seluruh tubuh manusia dengan
jantung sebagai pusatnya, karena organ tersebut merupakan nucleus rasa dari tubuh manusia, yang mempengaruhi
perilaku tubuh ketika memproyeksikan rasa. Contoh, ketika ada rasa marah, maka
jantung akan mempercepat laju peredaran sel darah yang akan menyebabkan seseorang
menjadi fidgety atau mengakibatkan bagian-bagian seperti
tangan dan kaki menjadi lebih aktif dan agresif. Memang, otak juga adalah organ
yang sangat berperan dalam proyeksi rasa, tetapi jika membahas 'rasa', maka saya memilih jantung
karena keberadaan 'rasa' akan paling dapat dirasakan di dada, tempat yang paling dekat dengan
jantung. Namun, jika membahas hormon dan reaksi kimia di tubuh yang merupakan
bahasan ilmiah, ranah yang tepat adalah otak.
Maka, jika 'rasa' ada di tiap diri
manusia, mengapa seringkali seakan tidak valid? Hal yang seringkali disimpan
dan dibuang dalam kuburan?
Mungkin, jika aku harus menjawab, maka
inilah jawabanku.
Manusia hidup dalam suatu lingkungan hidup dimana terdapat banyak perbedaan yang
tidak akan pernah bisa selesai untuk ditulis dan disebutkan. Ekosistem yang
disebut sebagai society, merupakan lingkaran besar yang terbentuk
dengan isinya yang merupakan manusia dengan segala prioritas dan tujuan,
sehingga perlu adanya pemerataan arah untuk menurunkan entropi, menjaga keseimbangan dari chaos.
Jadi, untuk menggabungkan, menyamakan, dan menyatukan berbagai perbedaan yang
ada diperlukan sebuah tujuan, visi dan misi, yang sama, yang ingin dicapai oleh semua entitas
ekosistem tersebut. Maka, dengan panah yang disama-arah-kan, prioritas lain
akan dipukul kebawah dan jika memang ingin tetap menjadi suatu tujuan, akan
dipikul oleh manusia itu sendiri, yang memiliki tujuan tersebut, mungkin dapat dipikul
bersama dengan beberapa yang
lain dengan keadaan yang sama. Oleh karena itu, pada lingkaran besar tersebut,
'rasa' dari manusia dengan prioritas berbeda akan menjadi tidak valid, karena
rasa terhadap suatu tujuan yang berbeda akan mengganggu keseimbangan ekosistem
yang telah diarahkan untuk suatu tujuan tertentu, ekosistem yang dibentuk dan diatur
dengan dasar untuk menghindari chaos. Memang, sebenarnya it's inevitable,
that's just life, we can never fulfil each and every ego, we can never satisfy
each and every being.
Tetapi, ingatlah bahwa kita manusia, rasa
merupakan sesuatu yang bukan lagi darah dan daging, tetapi sesuatu yang lebih
dalam, yang dapat menghubungkan kita semua, tanpa terikat jarak, waktu, dan dimensi, tanpa terikat perbedaan bulu maupun
rambut. Hal yang dapat menghubungkan manusia dan manusia dalam ranah spiritual,
menghubungkan yang 'ada' dan 'tidak ada' (pernah nonton Interstellar?
gambarannya kurang lebih begitu). Maka, jika membicarakan jati diri dasar kita, setelah sebagai makhluk hidup, yaitu
sebagai manusia, 'rasa' has been and will always be valid. It
is my statement, with the very reason of why and how we live, with the reasons
that I've mentioned.
Jika 'rasa'-mu tidak valid, maka
sebenarnya kamu memandang terlalu luas.
Pada dirimu, 'rasa' itu valid, has
been and will always be, you could always validate it, you don't need other's
permission, you really don't, because it exists, it's been a part of you ever since you took your
first breath into this world, it is.
Mungkin ada orang lain yang akan melempar
'rasa' itu ke trotoar ketika kamu beri dalam bingkisan yang rapuh, tapi pasti
ada orang lain yang akan menerima, menggenggam, dan menyimpan 'rasa' itu dengan
pengertian dan 'rasa' nya sendiri.
Pasti ada dan akan
ada. Tapi, mulailah validasi tersebut dari dirimu sendiri. Bangunlah fondasi
yang kuat, sehingga ketika dia datang, dia bisa masuk dan tidak runtuh bersama
bangunanmu, bangunan bergerak yang bernama “Aku”.
“While we were
waiting for the conqueror, we became the conqueror” -aurora aksnes
The main dish for this course was:
"You matter, your feelings matter, no
matter what it is, it's not just what it shows or how it gets projected, but
also the realm of where it comes from, the axis of its projection, the reason.
It is the base of human understanding"
Komentar
Posting Komentar