Gea #3 : " ingin sederhana itu egois ? "
Pada hari yang aku lupakan ternyata sudah gilirannya, aku kembali merasa. Awalnya jelas, tetapi semakin lama aku terlarut di dalamnya, warna nya semakin abstrak. Aku merasakan berbagai rasa, melihat berbagai warna, dan mencium berbagai aroma yang terus bergilir muncul pada sensor-sensor badanku, membuatku bingung. Pada diriku aku merasakan sesuatu, sesuatu yang perlu untuk dikeluarkan, tetapi bentuknya yang semakin tidak karuan membuatku kebingungan, harus apa dan mulai dari mana?
Seringkali aku merasa, "ah, lagi-lagi aku playing victim" atau "dih, kenapa si lu haus perhatian banget, sebel gue". Seringkali aku bertikai dengan diriku sendiri, dengan pikiranku. Aku sudah tidak paham lagi apakah ini memang nyata, genuine atau hanya sandiwara yang sengaja tanpa sadar aku sendiri mainkan? Kalau diminta untuk jujur, ya, aku memang haus 'perhatian' dan kesepian. Perhatian yang aku maksud bukanlah spotlight yang biasanya selalu ada dalam keberadaan orang-orang terkenal, melainkan perhatian dari orang terdekat, sekedar menanyakan kabar dan mengajak Tapi seringkali hal-hal tersebut menjadi alasan, untuk hal-hal lain. Menjadi script panggungku, yang berjudul play the role of victim.
Tapi yah, satu hal yang aku syukuri adalah aku langsung sadar ketika aku mulai play the role lagi, sebelum terlambat.
Oke, diluar dari itu, ada hal yang terus-terusan membuatku kepikiran. Melalui kacamataku, aku melihat dunia sebagai tempat yang sangat beragam, sangat misterius, dan sangat aneh. Banyak sekali hal-hal yang dapat ditemukan, diamati, dan dipelajari dari dunia ini, pertualangan dan pembelajaran yang tidak akan pernah selesai, tidak akan pernah mati. Selain itu, banyak hal yang pada dasarnya sama, tetapi sangat beragam, mereka yang merupakan turunan dari ' satu hal ', mereka memiliki keunikan, memiliki palette, memiliki rumus-nya masing-masing. Mereka terlihat berbeda, tapi pada dasarnya sama, hanya saja Tuhan dan semesta memutuskan untuk memberikan mereka fitur-fitur yang dapat menjadikan dunia ini tempat yang tidak mundane, tempat dimana segala-nya tidak harus sama, tempat dimana semua bisa bermimpi, tempat dimana kita tidak sendiri. Mungkin perspektif mataku terlihat terlalu ideal, ya benar. Yah, memang di dunia ini tidak ada yang bisa ideal kecuali Dia.
Tapi, semakin kita ber-jalan, ber-lari, ber-interaksi, ber-pikir, ber-tanya dan menjawab, melihat dan mengamati, tumbuh dan berkembang menjadi manusia, kita sadar bahwa dunia bukan hanya tersusun atas pemikiran dan imajinasi, terlalu banyak faktor di-luar yang tidak bisa tidak dipertimbangkan. Kita sadar bahwa dalam dunia ini ada ' realita ' dan ' idealisme ' yang seringkali atau bahkan selalu ketika dibenturkan bukan menyatu, tapi pecah. Mungkin sejak dulu kita sudah mengenal ' idealisme ' tapi belum tahu namanya, oleh karena itu ketika kita telah lepas dari rumah, bertarung dengan nasib di sisi dunia yang masih misterius apalagi untuk pemain baru, kita begitu kaget dan tersadar bahwa apa yang selama ini kita percayai ternyata palsu, tidak nyata, hanya kebohongan. Yah, tidak sepenuhnya bohong kok, aku yakin itu bisa jadi nyata, tapi mungkin menginginkan pengorbanan besar.
Kita kaget, menjadi speechless dan hopeless.
Tubuh kita mengeluarkan defense mechanism-nya yang bekerja dengan memutuskan beberapa saraf yang menjadi proyektor ide dan mengalihkannya ke amigdala.
"Hidup mengikuti realita", kalau mendengar kalimat itu, aku langsung membayangkan orang-orang yang tinggal di perkotaan, bangun pagi, memakai kemeja putih, dasi polos, celana atau rok hitam, dan sepatu kerja yang biasanya hitam juga, kemudian pergi kerja ke kantor ditengah hiruk pikuk kota dengan wajah bersungut-sungut atau wajah yang sudah terbiasa dengan segala ke-normalan dan tidak lagi mengharapkan apa-apa.
Kalau aku diberikan satu permintaan, aku akan meminta untuk diberikan kehidupan dimana aku hidup sebatang kara pada sebuah country side tanpa ikatan keluarga apapun, sendirian (ah, mungkin hidup hanya dengan seekor kucing, ide bagus), dengan satu pekerjaan biasa yang cukup untuk aku hidup, seperti penulis surat, petani, peternak, atau penulis freelance.
Awalnya aku pikir permintaan seperti itu sangat sederhana, sehingga aku kira ini bukan permintaan yang berlebihan, tetapi semakin aku mendengar dan merenung, ya, memang terdengar seperti permintaan yang sederhana, tapi dalam dunia yang unik, kompleks, dan dinamis, ternyata adalah permintaan yang sangat egois.
Aku duduk, menyandarkan punggung dan kepala.
Memutar lagu yang membantuku memproyeksi-kan rasa dan gambar yang tepat.
Kalau dibayangkan, tinggal di rumah kecil dengan halaman luas, dekat dengan danau, pegunungan, dan hanya terpisah beberapa km dengan hutan, tempatnya berada diluar pemukiman yang ramai dengan orang-orang, tetapi dekat, tidak terlalu jauh, terisolasi dengan baik bersama alam. Halaman yang luas dimanfaatkan sebagai wadah berkebun dan membuat taman yang dapat mengisi dan menghidupi luaran rumah dengan berbagai tanaman, tentu serangga-serangga seperti kupu-kupu dan lebah akan mengubah taman menjadi lebih hidup. Untuk kebun, dapat dijadikan sebagai rutinitas yang menggantikan pekerjaan kantoran mundane di perkotaan, menjual hasil panen ke pemukiman sekitar dan menggunakan sisanya untuk kebutuhan metabolisme.
Yah, terdengar dan terlihat sederhana, sangat sederhana, banyak manusia dibelahan Gea yang lain sekarang ini yang menjalankan kehidupan seperti yang telah aku gambarkan, menikmati hari-hari dengan kesederhanaan dan kecukupan, penuh rasa syukur terhadap alam yang telah menyediakan berbagai kebutuhan dan memberikan ketenangan. Nah, dibelahan Gea yang lain juga ada banyak manusia sekarang ini yang hidup dengan rumah kecil, halaman luas, dekat dengan danau juga hutan, dan dilindungi oleh pegunungan yang berada diluar pemukiman, tetapi itu semua hanya ada di dalam mimpi tidur malam mereka yang menjadi pelarian setelah pekerjaan kantoran perkotaan yang melelahkan karena atasan memaksakan lembur untuk menyelamatkan perusahaan mereka yang berada diambang gulung tikar. Ketika Heliena menyapa Gea, "Ah, ternyata hanya mimpi", bangun membuka jendela menyapa concrete jungle.
Intinya, siapa sih yang tidak mau hidup sederhana seperti itu? Aku yakin dan percaya bahwa banyak manusia lain yang juga mengharapkan kesederhanaan, yang mengharapkan bisa hidup. Hidup yang aku maksud adalah bernapas menapak bumi dengan wajah dan rasa aman, tenang, dan bahagia, tanpa harus khawatir dengan sapaan Heliena besok.
Untuk menjawab, " ingin sederhana itu egois ? "
Pendapatku sih, iya, sangat.
Tapi, kita kan hidup dalam keragaman, semuanya bisa berbeda, nah, kalau menurut kamu?
Komentar
Posting Komentar